Salah satu dari anak gue yang bawel-bawel emeush itu pengen ikut lomba mewarnai. Ini adalah perdana dia akan ikut lomba. Karena itu, gue pun mulai dengan mengajaknya latihan mewarnai setiap malam.
Secara yaaa, anak gue ngewarnai aja masih tergantung mood. Boro-boro gradasi warna, ngewarnain langit aja masih keukeuh di atas doang (“Kan langit adanya di atas, ngapain aku warnain sampe ke tanah?”). Lebih parah lagi, gue juga anaknya gak artsy, jadi ya nggak kepikiran juga untuk memberi dia tips-tips supaya warna-warnanya jadi keren atau gimana. Palingan cuma ngajarin biar warnanya jangan keluar garis, sesuai waktu, dan ngewarnainnya satu arah.
Beberapa hari belajar, gue melihat bahwa dia menunjukkan kemajuan dalam mewarnai. Yang tadinya acak adul dan gak penuh, perlahan-lahan mulai diselesaikan dengan rapi. Bangga deh, sama semangatnya. Tapi, justru dengan kaya gini, gue merasa ada satu hal lagi yang juga perlu banget gue ajarkan jauh hari sebelum lomba. Itu adalah perasaan berani kalah.
Bukannya gue ibu-ibu pesimis yang kurang mendukung anak. Tapi, ya realistis aja, ini lomba pertamanya dia yang mungkin melawan anak-anak lain yang bukan hanya lebih artistik tapi juga lebih berpengalaman lomba mewarnai. Sementara, buat gue, keberanian dia untuk minta ikut lomba aja udah perlu diacungi jempol. Hehehe. π
Jadi, gue jelaskanlah kurang lebih seperti di atas. Kadang sambil gue ngajarin gambar, kadang saat dia lagi ngayal, kalau dia menang, hadiahnya bakalan diapain. Party pooper? I know. Tapi gimana dong? Gue pengen dia sadar bahwa ketika dia ikut lomba, kemungkinannya cuma dua, menang atau kalah. Dan hasilnya apa pun, buat gue dan ayahnya, gak masalah.
Hari H datang dan dia pun ikut lomba. Seperti udah gue perkirakan, saingan-saingannya banyaaaak banget yang kayanya udah lebih paham ikut lomba mewarnai. Mereka ngerti gradasi, ngerti bahwa yang diwarnai bukan cuma gambar yang ada di kertas doang, melainkan boleh nambah gambar yang lain lagi dan kertas dikumpulkan dalam kondisi penuh warna-warni.
Pendek cerita, anak aku kalah di perlombaan mewarnainya yang pertama. Meski begitu, dia seneng karena dapet piala partisipasi dan hadiah celengan.
Sementara itu, si emak yang satu ini, diam-diam menganggap piala partisipasi tuh kurang perlu, deh. Karena menurut gue itu kaya sugarcoating. Kalah ya kalah aja. Karena di kehidupan nyata, orang yang kalah biasanya kan pulang dengan tangan kosong. Dengan adanya piala partisipasi itu, gue merasa anak gue gak belajar kalah dengan sempurna. Sementara, buat gue, ada saatnya penting untuk merasakan kekalahan. Soalnya, hidup gak sesuai mau kita terus dan gimana caranya menghadapi kesedihan karena kita nggak berhasil mencapai yang kita mau itu yang mau gue ajarkan ke dia saat ini.
Lagi aku berusaha merangkai kata supaya lagi-lagi tak terdengar sebagai party pooper buat anak baik yang baru saja bangga bilang, “Ini piala pertamaku..” itu, tiba-tiba dia melanjutkan, “Bem, ini tuh dapet piala yang ini buat semua, tuh, maksudnya biar yang gak menang itu gak sedih, ya?”
Gue jawab, “Iya, kayanya sih. Sabia tau kan, kalau ada juara 1, 2, 3 nya pas lomba tadi?”
Dia bales, “Tau sih…” Lalu dia melanjutkan lagi, “Padahal menurut aku nggak perlu ngasih piala ke yang kalah juga. Aku dikasih hadiah celengannya aja juga udah seneng.”
…… Wow. π
Gara-gara itu, gue, yang tadinya mau ngajarin dia sesuatu, malah jadi balik belajar sesuatu dari dia.
Kadang kita pikir anak-anak kita itu terlalu fragile, dan kita terlalu khawatir bahwa dia nggak bisa menghadapi atau menyelesaikan masalah-masalahnya tanpa kita. Kenyataannya, mereka juga manusia yang tumbuh, berkembang dan berproses juga.
Hari ini, aku banggaaaa sekali dengan kekalahan kamu, juga dengan kemampuan kamu menyikapi kekalahan. Mungkin jauh lebih bangga daripada kalau kamu menang. Karena semua orang bisa menghadapi kemenangan, dan cuma orang hebat yang bisa menyikapi kekalahan dengan baik.
Semangat belajar terus, ya, Kak.. Suatu hari, kita pasti akan menang bersama-sama. π
Love…..ππ
Sabia keren banget…
Aku setuju ga perlu ada piala2 hiburan gt..jadi suka #gagalfokus anaknya, besok-besok lomba mesti dapet piala dianya..
Disekolah anakku yg dulu terlalu obral piala…dikit2 piala..menang kalah dapet piala.
Awal-awal sih ikut seneng karena bawa plng piala tapi lama-lama jadi bikin anak obsesi buat jadi juara dan ngga menghargai proses lagi…
Ahh Sabia anak pintar. Ini mau cerita ttg lomba pertama kk G juga deh di blog smit…kalah dia dan hebat ga nangis. Mudah2an anak2 banyak belajar dr ikutan lomba ya..hidup ga selalu sesuai keinginan kita
Postingan ini keren bgt Bu. Setuju lah ama jeung Smita & Sabia π
Sama, aku juga agak ngga sreg sama so-called “piala partisipasi”.
Lalu, ya.. mungkin bbrp mengira aku anaknya artsy gitu, kan, ya.. huahuahauhau *pret*. wait, aku mau cerita nyampah dikit boleh ya ya yayayayaaa.. *mekso*
Jadi, selama SD, aku selalu KALAH kalau lomba menggambar dan mewarnai, karena ngga sesuai pakem teknis gradasi, scrabbing (sgraffito), atau apalah itu teknisnya. Nah, kemarin aku + Kami ikut lomba mewarnai, aku sih udah feeling, karena tentu ngga sesuai pakem, tapi inilah hasil imajinasiku + Kami. Hasilnya, tentulah juara harapan wkwkwk.
“Kan langit adanya di atas, ngapain aku warnain sampe ke tanah”
Aku dulu gitu, loh, I mean, kenapa bunga mesti warna pink, kuning? Karena bosan, kuwarnai hitam, dan kena marah. ‘Kan kzl. Padahal aku inget banget selain bosen, emang ngga ada apa bunga warna hitam? T___T
*kepanjangan, deh.