Hari Kedua: Berbicara lembut
Mengapa mesti berbicara lembut? Ini adalah latihan mengontrol diri sendiri. Bagaimana tidak. Setiap kali orang lain, entah pasangan atau anak-anak menaikkan suara mereka, Anda malah tidak boleh ikut meninggikan nada dan menaikkan suara, tetapi malah diminta melembutkan suara.
Jelas itu butuh kemampuan mengontrol diri, menenangkan diri, menurunkan kembali irama denyut jantung, menarik nafas dalam. Mengembalikan seluruh keutuhan diri Anda yang nyaris terpecah-pecah pada saat marah.
Buat apa saya mesti mengontrol diri? Karena Anda, saya yakin, ingin memberi warisan ketiga kepada anak-anak: karakter disiplin.
Disiplin bukan berarti mampu mengikuti atau mematuhi semua aturan Anda. Itu disiplin yang keliru. Itu disiplin berdasarkan rasa takut. Disiplin adalah kemampuan mengendalikan diri sendiri, kemampuan mengatur diri sendiri, kemampuan menguasai diri.
Nah, jika disiplin bermakna pengendalian diri, maka anak-anak baru dapat disiplin jika orangtuanya juga mampu mendisiplinkan diri. Dan contoh atau teladan termudah adalah: dengan melembutkan suara.
Bayangkan, ketika anak atau pasangan sudah menduga Anda akan marah — seperti sebelum-sebelum ini, mereka malah melihat Anda tenang dan bersuara lembut. Pada saat anak Anda menduga sebentar lagi akan mampu menguasai Anda — karena kalau Anda marah, maka segala aturan yang selama ini And atetapkan bisa saja akhirnya Anda langgar sendiri sehingga keinginannya terpenuhi, ternyata ia kini mesti berhadapan dengan Ibu/Ayah yang lembut, yang masih dapat berpikir secara utuh, dan akhirnya tetap teguh pada pendirian semula.
Ya, berbicara lembut baru dapat tercapai jika Anda mampu tetap berpikir urut dan utuh karena Anda mampu menenangkan diri. Itu adalah modal untuk menegakkan konsekuensi secara konsisten.
Konsistensi menegakkan konsekuensi; itulah warisan berikutnya yang dapat Anda serahkan kepada anak Anda. Konsistensi ini juga memperkuat keteraturan hidup yang telah Anda bangun di atas. Disiplin memperkuat keteraturan. Disiplin diri memperkuat rasa aman.
Tantangan hari kedua gue lakukan hari Selasa, 27 September 2016. Maap, karena nulisnya males telat jadi laporan dirapel.
Jadi, gimana tantangan hari kedua?
Gagal total luluh lantak di awal hari. Kenapa? Karena sempet ada drama yang terjadi sebelum berenang. Mungkin pengaruh mood Sabia juga agak sedikit gak stabil juga pagi-pagi. Intinya bagi gue, permulaannya kurang baik.
Gue udah berusaha mengingatkan diri “bicara lembut, bicara lembut”, lalu pada suatu titik gue kaya “hiiiihh..” dan snap gitu aja. Balik ke diriku yang ngomel. Dan itu artinya ngomel dengan nada keras. Which I was not proud of.
Heuuuuuhhhh…. 😦
Walaupun selama sisa hari berusaha terus menerapkan bicara lembut, tapi karena udah terlanjur lepas di awal hari, jadi kaya ada pembenaran kalo mau ngomel lagi karena toh udah gagal juga (mmmm.. bukan begitu, mbak Smita! 😦 ). Jadi rasanya nggak afdhol.
Makanya dengan ini aku memutuskan untuk remedial dan mengulang tantangan hari kedua ini sekali lagi (atau sampe berhasil) pada hari ini.
Doakan akuuuu!
mbak Smitha…dapet tantangan kayak gini dari mana yak?
Baca deh di dua post aku sebelum ini. Dari FBnya Pak Dono Baswandono. Pertamanya juga aku liat ini dari temenku, udah lama pengen ngikutin tapi gak yakin udah kuat mental. Tapi makin ke sini, makin terusik buat nyobain. Demi merasa dan menjadi lebih baik. Hahahaha..
semangat mbak Smitha..aku liat postingan sebelum2nya dulu XD