Belakangan ini, salah satu hal yang mengusik pikiran gue adalah bagaimana nanti kalau anak-anak gue merasakan patah hati pertama kali. Jengjeng! π¦

It is one thing that we, as parents, cannot avoid. We cannot protect them from it, yet eventually it will happen anyway. And just thinking about it breaks my heart.
Patah hati pertama gue terjadi bukan sama pacar pertama dan juga bukan sama mantan pacar yang hubungannya paling lama. Patah hati pertama gue justru terjadi sama orang yang masa pacarannya paling singkat.
Dan meskipun setelah itu gue masih sempet patah hati beberapa kali dan untuk berbagai alasan yang, pada masanya, juga gak mudah dijalani, patah hati perdana gue rasanya masih lebih nyakitin dibanding itu semua. Maybe it’s true that first cut is always the deepest.
Sampai hari ini, kalo nggak sengaja keinget masih suka males. Sampe hari ini pun gue masih inget gimana nyokap gue sampe khusus ngajak ngomong untuk memastikan gue baik-baik saja.
Dan, tentu saja, saat itu, gue bilang bahwa gue baik-baik saja. Gue senyum-senyum dan mengesankan bahwa nyokap gak usah khawatir, bahwa gue bisa mengatasi semuanya sendiri, bahwa gue setuju sama nyokap kalo orang itu gak pantes ditangisin, dan bahwa semua akan baik-baik saja.
Kenyataannya, gue nangis sampe tidur berhari-hari. Gue pergi sekolah dengan keengganan luar biasa dan memaksa diri untuk gak ngerasain apa-apa. Pura-pura hepi, supaya nyokap gue bisa percaya bahwa gue beneran baik-baik aja. Supaya gue sendiri bisa percaya bahwa semua akan baik-baik aja.
Kenyataannya lagi, hari ini, puluhan tahun setelah kejadian itu, setelah gue akhirnya menjadi seorang ibu, baru gue sadari bahwa semua usaha gue membohongi diri sendiri itu….. nggak mungkin nyokap gue nggak tau.
Nggak mungkin dia nggak tau bahwa gue nangis sampe tidur untuk beberapa lama, nggak mungkin dia nggak tau bahwa tiap mau berangkat sekolah gue males karena bakalan ketemu, nggak mungkin dia gak tau kalo lagu-lagu yang gue bikin di mixtapes yang gue puter di mobil bokap itu sebenernya punya makna lebih daripada sekedar kaset rekaman iseng-iseng doang.
Pada masanya, gue mungkin “mengesankan” bahwa gue gerah dan nggak nyaman dengan keadaan itu, tapi gue memilih untuk menjalaninya sendiri. Kenapa? Mungkin karena gue takut hal yang bagi gue masalah, ternyata dianggap remeh aja. Atau apalah, entah. Mungkin sebenernya cuma sesederhana gue nggak mau bahas karena gak tau mesti gimana menyikapi hal itu.
Kembali ke masa kini. Ingatan tentang itu semua sering membuat hati gue mrintil. Memandangi anak-anak yang ketawa lepas, nangis karena rebutan, lalu tidur lelap.
Suatu hari kalian bakalan ketawa lepas karena orang lain ya? Nangis karena orang lain, dan barangkali suatu hari kalian pun bisa nangis sampe lelap. Karena orang yang sama dengan yang membuat kalian tertawa.
Kenapa aku gak bakalan bisa lindungi kalian dari patah hati? Padahal aku ingin. Padahal aku ingin menjaga kalian dalam sebuah balon besar yang bebas dari segala hal yang menyakitkan hati.
Tapi, ketika dipikir lagi memang enggak bisa. Dan, patah hati, walaupun nggak enak mungkin tetap perlu.
Supaya belajar. Jadi lebih pinter. Gak gampang kemakan omongan orang. Tau mana yang lebih bisa dipercaya. Tau mana yang beneran sayang, mana yang enggak. Supaya akhirnya tau seperti apa orang yang bener-bener kita cocok satu sama lain. Supaya juga paham bahwa cocok satu sama lain pun kadang perlu friksi yang bisa jadi bikin sakit hati juga meski gak harus ada yang pergi.
Begitu banyak alasan kenapa akhirnya patah hati harus dimaklumi kehadirannya. Tapi, apakah akan ada cukup alasan buat anak-anak gue untuk percaya bahwa mereka bisa bebas menceritakannya sama gue?
Atau apakah mereka akan mengikuti cara gue dulu, pura-pura hepi, supaya mamah nggak khawatir. Tapi, ketika itu, sebenernya mamah tau — dan barangkali, siapa tau, saat gue menangis sampai lelap, di kamar mamah, dia pun sibuk merekatkan hatinya yang ikut patah bersama hati gue?
Patah hati pertama kali gue enggak enak rasanya hingga hari ini. Tapi, walau sulit dihindari, nampaknya hati gue akan patah perdana lagi, dua kali lagi, ketika anak-anak gue merasakannya untuk pertama kali.
Semoga saat itu datang, kalian percaya untuk berbagi sama aku dan ayahmu, serta membiarkan kami membantu menjalaninya sampai hari-hari kalian mudah kembali.
π¦
We love you, girls. We really, really do. To the moon and back and all around the universe.
“Mungkin karena gue takut hal yang bagi gue masalah, ternyata dianggap remeh aja.” <– bisa relate banget π
Didoain semoga pengalaman apapun yang bakal didapetin Sa dan So nantinya, mereka tetap sehat, tetap bertumbuh kembang dengan optimal, semuanya aman terkendali. Kalaupun sedih, sedihnya gak lama2, tetep ada alasan buat hepi dan selalu punya support system yang kuat di sekelilingnya.
Semangat, Jengpop! Nice post π
Ada beberapa orang yang gw kenal tidak membiarkan anaknya pacaran sampai lulus kuliah. Ada beberapa orang juga yang memang baru mulai pacaran di usia-usia saat kita udah katam urusan patah hati. Sebagai orang tua, gw akan membolehkan anak-anak pacaran di usia pantas, remaja lah gitu ya. Bukan apa-apa, buat latihan patah hati, biar kalau patah hati beneran pas dewasa nanti ga kaget (kaget amat). Kan patah hati itu kayak penyakit cacar, makin tua makin susah sembuhnya π
Gue dulu patah hati pertama kali juga sok kuat, diem-diem aja kalo di rumah. Bo-nyok gue walau ga diceritain tentu saja tau dengan sendirinya, terus bokap yg gue kira cuek tau-tau nelpon gue dari kantor sehari setelah gue putus hanya utk ngalemin gue… lalu aku bubar sudah. Nangis gara-gara ditelpon itu. T_T