Masih inget nggak dulu gue pernah cerita galau soal usia masuk SD Sabia seperti gue tulis di sini? Nah, sekian waktu berlalu, ternyata gue bukannya makin sreg malah makin galau.
Kegalauan gue ini masih seputar apakah mau masukin Sa ke sekolah dasar pada usia enam kurang dikit atau enam lebih banyak. Kenapa galau?
Begini asal mulanya…
Jadi, gue punya dua keponakan, Na dan Ca, yang tahun kelahirannya berturut-turut sama Sabia. Na 2008, Ca 2009 dan Sa 2010. Kami, di keluarga besar, sudah terbiasa melihat mereka bertiga berbeda satu tahun.
Lalu, Na masuk SD di tahun 2014, disusul Ca masuk SD di tahun 2015. Ekspektasinya tentu saja Sa masuk SD di tahun 2016. Tapiiii… ternyata kalo ditilik lagi, pada saat tahun ajaran baru masuk SD 2016 itu, umur si Sa masih enam tahun kurang dikiiit. Dan usia segitu kurang direkomendasi untuk masuk SD karena takut usianya belum cukup matang.
Oke. Berkaca kembali ke postingan yang ini, gue masih yakin bahwa dasar ilmiahnya pasti ada. Tapi, beberapa masukan dan pertanyaan dari orang-orang terdekat (seperti “Seberapa pengaruhnya sih kurang sekian bulan doang?”, “Kasian dong, anaknya udah bisa baca kok TK terus..”, “Jaman dulu bisa..”, dsb, dsb, dsb) terus terang lama-lama membuat gue goyah juga.
Goyahnya lebih karena gue khawatir ‘membuang umur anak’ dan apakah ini bakal ngaruh ke masa depan dia apa enggak.
Akhirnya gue kembali rajin nanya-nanya. Dari ke grup ibu-ibu sekolahan sampe browsing-browsing lagi. Salah satu orangtua murid yang kebetulan kerja di media ibu anak bilang, “Aku sih lebih mending masukin anak umurnya rada telat dikit, mbak, daripada kecepetan.”. Secara dia kerjanya di ranah yang menurut gue tepat, maka gue pun memasukkan masukannya dia sebagai bahan pertimbangan.
Lalu, suatu hari, gue browsing dan menemukan lumayan banyak artikel yang menganjurkan untuk memasukka anak ke sekolah dasar pada usia minimal enam tahun (jadi, enam tahun kurang dikiiiiit pun masih belom direkomendasikan)
Ini salah satu yang gue baca pelan-pelan dan beberapa masuk ke dalam hati. Aku kutipin sedikit, yaaa…
Permasalahannya, banyak ditemui orang tua yang merasa anaknya istimewa sehingga bersikeras memasukkan anaknya ke Sekolah Dasar (SD) sebelum cukup usia padahal belum tentu anaknya istimewa atau termasuk dalam 2-5% seperti disebutkan di atas. Mengapa sih tidak sabar sedikit menunggu anaknya berumur mendekati 7 tahun ?.
Jika kita masukkan anak ke SD pada usia 5 tahun, maka selain masih tertatih-tatih dalam keterampilan sosial, ia baru saja melewati (atau malah masih berada pada) masa kritis dalam perkembangan motorik (kekuatan dan keterampilan fisik), padahal ketika di SD , bergerak di dalam kelas adalah hal yang tabu kecuali diizinkan oleh gurunya, dan ketika di SD, menulis adalah sebuah keharusan sementara perkembangan anak masih belum matang.
Jika kita masukkan anak ke SD pada usia 6 tahun, maka ia masih berada pada tahap kritis keterampilan sosial, padahal ketika di SD, bersosialisasi di dalam kelas adalah perilaku yang tidak diizinkan.
Para ahli sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia, masalahnya, seperti yang dikatakan oleh Suharyadi dari Universitas Indonesia bahwa otak belakanglah yang menentukan kecerdasan seseorang, terutama untuk anak usia 7 tahun ke bawah.
Untuk usia 7 tahun ke bawah, pembelajaran yang terbaik adalah yang mengedepankan kenyamanan fisik (r-system), emosi (limbic), dan kesempatan untuk berimajinasi (right brain),tanpa adanya kenyamanan untuk berimajinasi, maka otak akan memerintahkan tubuh bertindak atas dasar pencarian kenyamanan emosi, terjadilah yang disebut mogok, ngambek, malas, membangkang, dan lain sebagainya.
Dari sisi perkembangan psikologi, ia menilai usia 7 tahun merupakan waktu yang pas bagi anak memulai pembelajaran di SD. Sementara usia kurang dari 6 tahun terkadang kurang tepat, karena anak-anak usia ini masih suka bermain.
Demikian pula dari berbagai studi perkembangan anak, maka usia 7 tahun adalah usia yang paling tepat untuk anak pada umumnya masuk ke Sekolah Dasar. Memang ada satu dua perkecualian, tetapi secara umum, pertumbuhan anak secara totalitas hingga usia 6 tahun, masih membutuhkan format Kindergarten untuk menuntaskannya.
Di sini gue baru ngeh kenapa ponakan-ponakan gue bisa masuk SD secara berurutan. Yaitu karena pada saat SD dimulai, mereka pas udah enam tahun. Beda dengan Sabia, yang kalo melihat awal tahun ajaran SD 2016 mulai itu dia masih lima tahun sekian.
Oh iya, ini fokusnya emang ke Sabia karena dia yang bulan lahirnya tanggung banget, mepet sama tahun ajaran. Kalo Sofia, yang lahirnya udah bulan ber-ber, itu sih gue sama Dals udah ikhlas masukin dia ke tahun berikutnya.
Teruuuss, karena masih merasa perlu meyakinkan diri (rauwisuwis), gue memutuskan untuk konsultasi TERAKHIR sama kepala sekolah Sabia.
Gue cerita sama ibu kepsek mengenai kondisi ponakan-ponakan dan Sabia yang cuma selang setahun-setahun dan bagaimana ekspektasi keluarga mereka juga secara akademis cuma bakalan beda setahun-setahun. Dan bahwa kalo mengikuti bahwa Sabia bakalan SD enam tahun lebih banyak itu akan bikin dia jadi beda dua tahun dengan ponakan yang umurnya cuma beda setahun sama dia. Emang bener, bu, enam tahun kurang dikiiiit banget aja pengaruhnya signifikan?
Si ibu kepsek jawab,
“Signifikan, lho, bu.. Saya sendiri menganjurkan bahwa semakin matang usia anak masuk sekolah, itu semakin baik. Biarkan dia bebas bermain sampai usia enam tahun. Setelah itu, baru masukkan ke sekolah dasar. Memang, kadang kita mengukurnya dengan kemampuan akademis. ‘Ah, anak saya sudah bisa baca tulis masa mau TK terus…‘. Tapi, ada yang lebih penting dari kemampuan akademis.
Anak di bawah enam tahun cenderung ingin bermain. Sedangkan SD sudah nggak bisa bermain sebanyak di TK. Sehingga, ketika dia susah konsentrasi dan ingin bermain akhirnya dia jadi kelihatan berisik dan mengganggu teman-teman lain yang sudah bisa lebih tenang dalam menerima pengajaran karena mereka lebih matang. Saya lebih menganjurkan dia puas bermain di TK sehingga lebih siap saat harus belajar tertib di SD.
Banyak anak yang kurang usianya dan orangtuanya akhirnya memutuskan untuk memperpanjang waktunya di TK saja. Alias mengulang TK. Itu menurut saya lebih baik. Menunggu dia matang sebelum dilepas ke SD. Karena, di SD, kalau anaknya belum siap, akan lebih sulit untuk turun kelas, bu. Akhirnya dia bisa jadi tidak naik kelas. Dan label ‘tidak naik kelas’ ini berat dan jangka panjang pengaruhnya buat anak.”
Jleb.
Tapi, dulu jaman kita bisa masuk SD di usia lebih muda, bu…
“Kita nggak bisa membandingkan jaman sekarang dengan jaman dulu, bu. Dulu, mungkin ada anak yang masuk SD di usia 5 tahun. Tapi, jaman itu, kelas satu dan dua masih pulang jam 10. Dia masih bisa banyak waktu untuk bermain dan memenuhi kebutuhan bermainnya. Anak SD kelas satu sekarang biasa pulang jam satu siang, lho, bu..”
Wooooohhh.. tak pernah terpikirkan olehku banget nih. Zzzz.
Dia juga bilang, untuk kelas satu dan dua nggak bakalan ada masalah yang signifikan. Tapi, tekanan mungkin baru dirasakan saat kelas tiga ke atas.
Dengan demikian, bulat sudah keputusanku. Bahwa Sa akan menyelesaikan TK sampai usia enam lebih banyak demi memuaskan kebutuhan bermainnya dan menyiapkan dia sematang mungkin sebelum masuk ke SD.
Semoga ini menjadi keputusan terbaik ya, nak.. Amin…
Ada yang mau share lagikah tentang usia anak masuk SD? Kalau ada, silakan yaaaa.. 😊😊
Mba kayanya itu bnr deh, anak dl ma anak skrg besa wlpn masuk sdnya 5 thn lebih. Dl saya masuk sd 5,5 th nah keponakan saya kbtln sama ky saya masuk sdnya pas skrg dia agak susah ngikutin ritme belajarnya mba. Kasian mba … Ampe ke psikolog n bnr karena pgrh umur itu dia jd agak ga fokus bljr (yg sbnrnya tau tp mls gtu) dan dibanding tmn2nya dia kaya plg kecil mba, yg tmn2nya kaya udh gede gtu. Kponakan saya lhr thn 2005 dan skrg kls 5 mba. Just sharing mba.. Mksh juga infonya hehehehe
Thanks ya mbaak.. sharingnya. Semoga keponakannya bisa dapat cara penyaluran lebih baik dan bikin seneng belajar lagi, yaaa..
Sebetulnya gua akan mengkritik poin saduran lo, terutama untuk masalah pergerakan dan sosialisasi anak di kelas saat SD. Balik-balik sebetulnya gimana sekolahnya. Naga itu di’vonis’ sebagai anak yang kinestetik-kalo salah benerin- yang punya kecenderungan untuk konsentrasi dengan jalan-jalan ke wc dan duduk menclok-menclok di seating island di kelasnya. Tergantung kebijakan guru dan sekolahnya sih rasanya ya untuk gimana mencoba ngertiin anaknya dan mengajak dan membantu orang tuanya buat ngertiin anaknya. Sejak dikasih tau itu, gue baru tau bahwa emang ada anak-anak yang harus lari2an untuk ngabisin tenaga mereka supaya mereka bisa konsentrasi, dan itu selama dalam batas wajar memang dikasih sama gurunya untuk ngelepasin energinya dulu.
Masalah kematangan, gue setuju untuk masukin anak pas matang karena kalo yg diwanti2 sama gurunya anak-anak emang pas kelas 3 yang akan ribet.
Tapi ujung-ujungnya mah yang penting lo dan anak lo nyaman. Dan kita selalu ngelakuin yang buat kita paling baik kan buat anaknya? 😉
Yeppp.. makasih yaaa.. mudah2an dukungan kel dekat jg bantu banget yaaa.
Hai Smita..
Mau share nih berdasarkan pengalaman gw bantuin seleksi siswa SD di beberapa sekolah. Kalo blm yakin anaknya siap masuk SD, bs daftar di sekolah yg ada layanan tes kematangan sekolah dlm proses seleksi. Biasanya sih ortu jg akan dikasih laporan hasil tesnya jd tau deh anaknya udah berkembang sesuai umur di aspek apa dan masih perlu dikembangkan di aspek apa. Keterima enggaknya di sekolah itu jg tergantung sm kebijakan dan kegiatan di sekolahnya. Sekolah yg dr kelas 1 udah pulang siang dan banyak mengharuskan anak duduk diem mgkn ga nerima anak2 yg rentang konsentrasinya masih pendek bgt, tp sekolah yg kelas 1nya masih pulang cepet dan kegiatannya lebih kayak transisi dr TK yg main2 ke kegiatan akademik yg lebih ‘serius’ mgkn mau nerima. Selain rentang konsentrasi, yg jg perlu diperhatiin adalah anaknya udah mau dan bisa ikut aturan apa belum soalnya kan di SD lebih terstruktur drpd TK. Kalo anaknya belum mau dan bisa, takutnya dia ga nyaman pas belajar di SD + dapet label kurang enak dr guru yg kurang pengertian.
HTH ya 🙂
Hai Shanti..
Makasiiih banget ya informasinya. Iya, kebetulan sekolah yang dituju juga mengutamakan tes seleksi tapi juga maksimal punya ijazah lulus TK B. Nah, karena itu tadinya aku sempet mikir apakah boleh kenaikan kelas khusus ke TK B setelah dia usia 5. Tapi, akhirnya ya udah deh ikutin aja sesuai jenjang dan periode yang berlaku.
Aku juga mikir si Sabia sbg anak sulung aja pastinya tuntutannya jg udah banyak. Kalo ternyata aku paksain masuk SD agak kasian ya, seperti kamu blg dapet label2. Huhu. Makasiiih sayaaang..
Smita, numpang tanya dong, Sabia ngulangnya jadi 2x mengalami TK B atau 2x di TK A? Kebetulan anak gw juga sama nih kasusnya kayak Sabia, and yess gw setuju banget sih lebih baik mengulang di TK – walaupun masih bimbang tak berkesudahan kayak dirimu- & kadang yg bikin gw ragu itu sbenernya bukan dari diri gw sendiri sebagai emak dari si anak (karena deep down inside hopefully gw tau apa yang terbaik buat anak gw), tapi justru tekanan lingkungan (baca: extended family).
Halo, Adis. Sabia tadinya pas usia 3 tahun 10 bulan kita sempet plot ke TK A, ternyata hanya boleh masuk ke KB. Jadi sekarang dia nggak ngulang apa2 sih, hanya masih TK A. I feel you soal tekanan lingkungan. Makanya aku seneng berbagi gini jadi kerasa kita ngga sendirian. Keep sharing yaaah!
Hai mbak, biasanya aku silent reader tp pengen sharing deh soal ini hehe.
Agak gak nyambung sih, tp aku pengen cerita waktu SMA aku akselerasi dua tahun aja. Dan jujur sampai sekarang masih ada sedikit perasaan menyesal tiap ingat itu. Berasa ada yang kurang aja gitu masa SMA ku. Cuma dua tahun, gak puassss hahaha. Tapi ya udahlah aku berusaha menikmati sisa masa remajaku di kuliah, tp kerasanya semua kerja keras disini sedangkan aku kayaknya jadi satu satunya yang mau santai dan selow. Syedih. Alasan masuk aksel dulu biar bikin bangga, tp kebanggaan itu lama2 gak berharga dibanding sisi psikologis aku yang sedikit luka luka *alah*
Ya begitulah curhat colongan saya hehe. Keep blogging, mbak 🙂
Aaaaw.. terima kasih sharingnya.. Tapi kamu tetep hebat lho karena aksel. Dan aku yakin kamu pasti beneran berprestasi scr akademis. Mungkin keinginan “main2″nya bisa diarahkan ke kegiatan2 yg “lebih fun” sesuai hobi gitu gak? Jadi setidaknya ketika capek kerja keras, kamu tetep bisa hepi.. hihihi..
Halo kak Smita, hampir mirip nih sama kejadian adikku yg paling bungsu. aku dan dia beda hampir 19 tahun dan ibuku meninggal ketika dia umur 3 bulan, jadi dia deket banget sama aku as his mom. 31 Juli kemarin dia 6 tahun, menurut hitunganku seharusnya sudah bisa masuk SD karena di TK B pun dia sudah bisa berhitung dan lancar membaca tapi pas daftar Mei lalu ditolak aja dong karena ya itu masalah kurang umur (sedikit). aku masih keukeuh bahkan minta si Kepsek buat nge-test adikku karena aku yakin dia bisa dan dia pun udah mau masuk SD, dan si kepsek jelasin dampak apa yg akan si anak dapatkan jika dia belum dewasa, dan masalah banyak anak agak tantrum di awal2 masuk sekolah pun sedikit banyak dipengaruhi psikologi nya yg belum siap untuk masuk ke fase baru. aku masih galau karena kalo dihitung dia akan masuk SD di umur 7 tahun dan selesai SMA hampir 19 tahun, kayaknya kok tua banget ya? kemudian si kepala sekolah bilang, ibu lebih pilih dia masuk sekarang dan belum tentu dia siap sehingga mungkin ada banyak efek di depan atau nunggu tahun depan dengan dia yang saya yakin sudah lebih siap. well, akhirnya milih tahun depan sih, tapi karena anaknya nggak mau kembali ngulang TK B, akhirnya aku les privat calistung 2 kali seminggu, les bahasa inggris 2 kali dan TPA (ngaji) 3 kali seminggu supaya dia ada kegiatannya. Salam buat Sabia ya, kak 😀
Waw.. makasih banyak ya cerita dan masukannya. Your mom must be very proud of both of you 🙂
Iya kalo setelah diskusi asal2an sama temen2 juga kayanya ngga ada efek yang signifikan dari “masuk telat” ya.. Lagian kayanya sekarang banyak yg ngalamin gini jg jadi mudah2an si kecil2 kesayangan kita ini banyak barengannya nantinya.. 🙂
Hai Mbak Smita..
Kalau yang saya pernah baca dari artikel luar negeri, selain kesiapan anak itu sendiri (physically and psychologically), juga melihatnya dari sudut pandang aspek yang lain, yakni lingkungan teman sebayanya. Ketika seorang anak masuk SD kurang umur, dia akan menjadi anak paling kecil di antara teman sepermainannya. Dan menjadi anak paling kecil itu akan lebih rentan dibully. Sehingga memang sebaiknya anak masuk SD ketika sudah cukup umur. HTH ya mba 🙂
Ah.. another point of view. Makasih, ya.. Aduh aku berharap banget deh di saat anak2 cukup usia masuk sekolah, baik SD apa SMP apa SMA, bullying udah berkurang jauh. Moga2 yaaa…