Setiap minggu, seperti sekolahsekolah masa kini pada umumnya, Sabia pulang membawa catatan laporan mingguan dari sekolah. Selembar kertas itu adalah bacaan mingguan favorit gue, karena di situ kirakira bisa tau kegiatan anak besar dan aktivitas maupun makanan kesukaannya di minggu itu. Nah, makanya ketika akhirnya akan dapet rapor yang ngelaporin perkembangan dan kegiatan selama satu catur wulan, gue seneng banget karena ngebayangin akan dapat lumayan banyak testimonial tentang salah satu orang kesukaanku di muka bumi ini. Hihi.
Raport perdana ini benerbener gak ada ekpektasi sih, ya. Lebih fokus pengen nanyananya tentang kesehariannya aja di kelas. Selain itu, ngobrol sama direktur pendidikannya juga. Jadi woles berat aja. Dan ternyata malah seneng karena melihat perkembangan dan kesehariannya bisa dibilang bagus. Cuma, ya, seperti sudah kuperkirakan ada bagian yang menyiratkan bahwa dia masih suka malumalu. Gak kaya emaknya.
Buat yang tau atau sudah pernah ketemu Sabia, umumnya menyadari bahwa dia itu tipe orang yang “panasnya lama”. Kalo dia jarang ketemu sama orangnya, agak sulit buat minta dia ngedatengin dan menyapa langsung. Boroboro sama orang yang jarang ketemu, kadang sama orang yang udah sering ketemu pun kaya gitu. Gue udah kenyang banget denger komen bahwa Sabia susah tegur sapa sama orang. Walaupun awalnya gue nganggep ini sebagai malumalu belaka, tapi lamalama gue nganggap ini sebagai karakter anak gue. Gue masih berusahaaaaa banget mencoba menerima itu as is. Dan ketika gue mencoba menerima bahwa itu karakter, gue berusaha banget untuk gak minta maaf kepada siapa pun yang komplen. Walopun seringkali gue jadi sebel sama yang komen bahwa Sabia susah tegur sapa dan juga kadang gue juga suka sebel juga sama Sabia karena susah tegur sapa. Ruwet kan.
Nah, garagara itulah, makanya gue mau ketemu direktur pendidikannya. Dia kan punya dasar pendidikan anak usia dini, ya.. Jadi pasti lebih pinter dari guelah. Di sini gue cerita halhal yang sebenernya udah pernah gue ceritain juga ke tementemen gue yang Psikolog Anak.
Gue cerita bahwa Sabia kalo di rumah baikbaik saja, cenderung rame. Sama tementemen komplek pun demikian. Tapi, ketika diajak arisan aja, yang notabene sebenernya isinya juga banyak tementemennya, dia lebih banyak diem. Di sekolah, ternyata kurang lebih gitu juga. Di kelas, menurut gurunya, dia bisa mengikuti, mau berpartisipasi dan cukup aktif. Begitu keluar kelas, ketemu sama penjemputnya, langsung kaya jaga jarak sama guru dan temantemannya. Di keluarga pun begitu. Sama keluarga inti gue dan Dals masih bisa akrab dan seru, tapi begitu ke keluarga besar langsung kuncup anakku.
Ibu dirpen senyumsenyum aja mendengar cerita gue. Lalu dia bilang,
“Bu.. Menurut saya ya, kalo kita yang udah seumur ini aja ditempatkan di suatu lingkungan baru, sepertinya kita juga nggak bisa langsung akrab dengan semua orang dalam satu ruangan. Itu kan wajar ketika kita memutuskan memilih untuk berada di dekat orang yang membuat kita merasa nyaman.
Kalo saya perhatikan, Sabia juga seperti itu, bu. Dia bisa dekat dengan orang tapi kan nggak harus dekat dengan semua orang. Ada lingkunganlingkungan yang membuat dia nyaman sehingga dia bebas beraktivitas. Contohnya, di kelas. Gurunya bilang dia hepi di kelas. Baru ketika dia keluar kelas, melihat begitu banyak penjemput dan anakanak dari kelas lain yang dia merasa asing, dia jadi menarik diri. Dan ketika itu dia melihat figur familiar yang menjemput dia, jadi wajar kalau dia langsung fokus ke figur itu saja.
Begitu juga dengan keluarga besar. Pasti ada satu atau beberapa orang yang membuatnya lebih nyaman daripada yang lain. Dan itu kan nggak apaapa, bu.. Kita juga yang sudah sebesar ini juga merasakan itu, kan?”
Uhmmm.. Iya, sih, Bu…
“Justru kalo anak seperti ini, semakin dia didorong ‘Ayo, yang ramah! Ayo, salaman, kalau enggak, blablabla..‘ sama sekali nggak menolong, lho, Bu. Malah dia akan makin menarik diri.”
*cegluk*
*busted*
“Soalnya, itu tadinya dia merasa zona amannya adalah Ayah-Ibunya. Maka ketika Ayah-Ibunya menuntut dan memaksakan dia di situasi nggak nyaman itu, dia jadi lebih nggak nyaman. Kita juga kan suka menemukan situasi dimana kita bingung harus ngomong apa ya, bahan omongannya apa ya.. Lalu kita ngalor ngidul soal cuaca. Anak kecil belum bisa caricari bahan begitu. Sehingga dia cuma bingung sendiri harus ngapain. Ketika dia bingung dan Ayah-Ibunya menuntut dia, itu terbayang nggak gimana beratnya buat dia?”
Jadi aku harus gimana, Buuuuuuuuuuu… selain menahan keinginan untuk segera pulang dan sungkem sama anak sendiri?
“Kita sebagai orangtua harus memahami ini. Dia mungkin memang pemalu, tapi bukan berarti kita nggak bisa ajarkan sopan santun. Dia pemalu, tapi bukan berarti gak bisa kita bantu untuk menyesuaikan diri. Nah, caranya gimana? Dia belum bisa cari bahan omongan, maka orangtua harus bekali dia dengan bahan omongan. Saat ke acara keluarga, misalnya, bawakan mainan kesukaannya atau buku cerita favoritnya. Sehingga dia punya hal familiar lain yang bisa dia ceritakan ke orang lain. Kita sebagai orangtua jaman sekarang kan, Bu. Tugasnya memahami dan membekali. Nggak hanya menuntut aja kan..”
HYAAAAAAA’AMPUNNNN.. Emang bener deh, namanya jadi orangtua belajar banget hal baru tiap hari. Mudahmudahan Sa n So selalu dikelilingi orangorang baik yang senantiasa memberi pengaruh baik nggak hanya buat mereka tapi juga buat gue dan si Dals.
Terima kasih ya, Ibu DirPeeeen, sudah memberikan masukan yang selama ini sungguh nggak pernah kepikiran di kepalaku. Ayoooo, semangat, belajar jadi lebih baik lagi dan lagiii!
Keren ih bu dirpen nyaaaaa
anakku pun lama ‘panas’ nya smit…..thank you for sharing yaw 🙂
gapapa Sabia itu mesin diesel favorit akuuuuuu!!! meski panasnya lama, tapi begitu nempel, langsung “dahhh boook!!”. sabia i heart you full mamen!
ahhh bagus bgt sharingnyaaaa..merasakan hal yg sama ke rayaa huhuhu
Jadi inget waktu bawa Kei ketemu Sabia. Pas kamu masih jauh dia sudah lari nyamperin aku sama Kei karena dia seneng sama bayi. 😀
Oiyaaa.. pas aku hamil ya itu.. Latihan dia.. hihihi..